Mengenai Saya

Foto saya
Sebelum lulus kuliah sudah menulis, dan menjadi kuli tinta.

Sabtu, 02 Januari 2010

OTHOK-OTHOK PAK SLAMET


Oleh : Kang Syukron

Bentuknya sederhana, boneka kayu yang tangan kanan dan kirinya yang berbentuk bulat mengepal terangkat ke atas, sedangkan kepala berbentuk bulat dari biji karet lengkap dengan topi dari benang plastik dan biji saga, untuk mata, hidung dan mulut, diwarnai dengan cat Acrylic. Sebuah kalung kayu berbentuk tong kecil menggantung di leher, dan bisa digerakkan ke kanan maupun ke kiri. Untuk badan dan kaki, berbentuk batangan kayu yang berfungsi sebagai pegangan. Saat digerakkan ke kanan maupun ke kiri, tong kecil tersebut menghantam tangan kanan dan kiri hingga menimbulkan suara "thok", dan saat digerakkan dengan cepat, maka akan berbunyi "othok-othok", dan Boneka Othok-othok, itulah Slamet memberinya nama.
Slamet Samsurijal, pria kelahiran Kupang Tegal, Ambarawa, Kabupaten Semarang, 1 Mei 1958 ini setelah lulus dari Jurusan Mesin Otomotif STM Dr. Tjipto Ambarawa pada 1978, mencoba berkelana kesana-kemari, hingga akhirnya pada 1982 ia memutuskan untuk merantau ke pulau Bali.

"Dua minggu sebelum berangkat ke Bali, saya sempat berpacaran dengan Suratmi, yang kini menjadi istri saya," guraunya sebagai awal perkenalan kami dirumahnya yang sederhana di Jagalan, RT. 2 RW. 7 No. 33 Kelurahan Kranggan Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang.

Sampai di Bali, pria yang rambutnya mulai memutih ini, pada 1 Maret 1982, ia ikut meramaikan hari ulang tahun ke 75 pelukis terkenal, Affandi bersama Toya Bongkak, ia dikenal dengan nama "Kothe Zahar" di teater Mentah, Kadek Suta (murid Sutan Takdir Alisjahbana), Hengky (sanggar Pejeng) dan Richard (pemuda Australia). Abah Kothe, panggilan karyawannya kepada Slamet pun sebelumnya juga pernah pentas bareng dengan penalri kontemporer Didik Nini Thowok, saat Gedung Pemuda ambarawa selesai dibangun.

"Saya di Ubud, Bali, bekerja di sebuah industri kerajinan ikan dari kayu dan pensil hias, hingga tahun 1987, dan kemudian pulang, karena saya kangen sama mantan pacar saya itu, dan setelah sampai dirumah, dia saya dekati lagi, dua bulan kemudian saya ajak mantan pacar saya itu menikah," katanya.

Usaha pertama kali Slamet Othok-othok, demikian ia dikenal, adalah membuat kerajinan ikan dari kayu, pada tahun 2000 bapak lima anak ini menerima order hiasan ikan gantung dari Philipina melalui seorang rekanan, sebanyak 20 ribu buah, dengan nilai total Rp. 22 juta. Meski belum diberi uang muka, dan belum pernah melakukan transaksi dengan pasar luar negeri, iapun selama satu bulan penuh, ''ngebut'' untuk merampungkan order tersebut.

''Transaksinya hanya perjanjian tertulis antara saya dan rekanan, dan setelah rampung, kita kirim ke Jakarta, dan saat barang itu sampai di gudang rekanan, Jakarta terjadi banjir besar, dan menenggelamkan barang-barang yang ada di gudang termasuk barang pesanan saya itu, dan pembeli dari Philipina itu datang ke gudang dengan kecewa, karena kondisi barang yang ia pesan, kotor dan rusak kena banjir, iapun nggak mau membayarnya,'' ungkapnya sedih.

Mengetahui transaksi itu gagal, Slamet pun pulang kerumah dengan tangan hampa dan kecewa. Transaksi puluhan juta yang ia kebut selama satu bulan, hilang dalam hitungan singkat saat banjir melanda Jakarta.
Untuk menghilangkan rasa kekecewaanya yang mendalam, dengan uang tinggal Rp. 50 ribu, iapun kemudian mencoba berfikir untuk dapat bangkit kembali. Dengan sisa limbah kayu kerajinan ikan-ikanan, ia beralih mencoba produk kerajinan model baru.

''Sisa kayu yang ada, cuma potongan-potongan kecil, dan peralatan yang minim, saya mencoba bangkit, karena harus mencukupi kebutuhan rumah tangga,'' katanya.

Dari melihat mainan produk cina berbahan baku plastik dengan model yang mirip, iapun mencoba menyatukan potongan limbah kayu dan dibentuk sebuah Othok-othok berbentuk sederhana, karena semua berbentuk segi empat dan persegi panjang, baik kepala, tangan, kalung tong, maupun tangkainya.
Beberapa bulan kemudian, saat mengikuti sebuah pameran kerajinan di Solo, Slamet mendapat pesanan sebanyak 2000 buah dan si pemesan meminta Slamet merubah model Othol-othok dengan bentuk yang lebih baik. Iapun juga diminta selama setengah bulan harus menyelesaikan Othok-othok tersebut.
Dengan mesin bubut, iapun merubah model kepalan tangan yang sebelumnya berbentuk persegi empat menjadi bundar, dan menghaluskan tangkai dan kalung tong dengan mesin bubut juga dari persegi panjang menjadi bulat panjang. Untuk kepala, pemilik Karunia Multi Handycraft ini, menggunakan biji karet.

''Kalau kepala, aslinya dari kayu yang dibentuk bundar, namun saya mencoba membuat inovasi baru, kepala Othok-othok dengan biji karet,'' tandasnya.

Iapun sempat kebingungan dan kelelahan, untuk mendapatkan biji karet, bersama istrinya Slamet mencari biji karet tersebut ke perkebunan karet di PTP Ngobo, Karangjati selama seharian hanya mendapat biji karet seribu buah saja.

''Satu tas plastik kresek sudah pusing, karena menunduk terus sambil menyibakkan rumput yang tumbuh lebat di bawah pohon karet,'' kata Slamet.

Karena kelelahan Slamet dan istrinya bertemu seorang penggembala kambing yang ada di perkebunan karet tersebut, iapun kemudian meminta si penggembala kambing untuk mencarikan biji karet, untuk perkarungnya dihargai Rp. 50 ribu.
Usaha ini seminggunya ia mampu membuat 2500 buah othok-othok. Proses pembuatan kerajinan pun terbagi dalam empat tahap, yakni pembuatan tangkai, pengeboran tangkai untuk tangan dan kepala, pemasangan tangan dan kepala, dan yang terakhir pengecatan tong dan pemberian melamin agar othok-othok terlihat mengkilap dan tahan lama.
Usai merampungkan pesanan, ia kembali mencoba membuat kerajinannya ini dikenal oleh banyak orang, iapun mencoba mengikuti pameran yang digelar oleh Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang empat tahun silam. Dari pameran keduanya itulah Slamet bertemu dengan relasi dari Surabaya dan Klaten.

"Sekarang ini, tiap minggu saya harus mengirimkan Othok-othok ke Surabaya 1500 buah, per bulan kirim ke Klaten 5000 buah dan ke Manado 8000 buah," ujar Slamet yang memiliki omzet bersih usaha per bulannya mencapai Rp. 8 juta.

Pengalaman pemasaranpun tidak saja antar kota, namun, pada tahun 2007 lalu, ia juga pernah mengeksport ke Tunisia sebanyak 10 ribu Othok-othok. Tiap tahun, Othok-othok ini juga ikut meramaikan pameran tingkat nasional, tercatat, sudah tujuh kali mengikuti pameran di Jakarta Convention Centre, tujuh kali di Pekan Raya Jakarta dan tingkat Propinsi Jawa Tengah, mengikuti pameran di PRPP Semarang dan tahun lalu, Othok-othok hasil kerajinannya juga mengikuti Borobudur International Festifal, selain telah masuk ke Obyek-obyek wisata baik di wilayah Kabupaten Semarang, seperti di Pemandian Muncul, Museum Kereta api Ambarawa, Bandungan, Rawa Permai, produknya juga telah masuk ke obyek wisata yang ada di Solo, Magelang, Kendal dan kota-kota lainnya.
Seringnya mendapat pesanan dalam jumlah yag besar, Slamet mengaku sering kekurangan modal, terpaksa iapun harus menghutang ke sebuah bank.
Setiap usaha apapun menurut Slamet, selalu ada suka dan dukanya, namun dalam usaha miliknya ini, justru lebih banyak sukanya.

"Dukanya hanya saat menerima order, namun dibayar di belakang, saya kan harus ngutang dulu, dan juga saat musim penghujan, kerajinan ini harus di oven, otomatis, kalau telat pengiriman, ya dimarahi oleh mitra usaha saya, kalau kemarau seperti ini kan tinggal di jemur sudah kering," ungkapnya.

Seain persoalan diatas, menurutnya, belum adanya hak paten atas produk miliknya inilah kini banyak perajin yang meniru, namun tentunya, produk Slamet memiliki standar kualitas dan ukuran. Slamet mengaku, untuk mengurus hak paten ia enggan, selain karena birokrasinya panjang, biaya untuk mengurus juga tinggi.

"Sebagai usaha kecil, pemerintah sudah cukup dengan memberikan bantuan kepada usaha saya, seperti memberi pelatihan manajemen, bantuan peralatan, dan dibantu sebuah counter di namun saya juga berharap, soal ijin hak paten dipermudah dan singkat," tukasnya.

Merasa produk kerajinan Othok-othok yang memiliki pangsa pasar anak-anak ini mulai dikenal di seantero daerah, kini Slamet mencoba membuat kreasi baru, dengan sisa limbah kayu dari Othok-othok, ia mencoba membuat Kodok-kodokan dari kayu dan pensil badut.
Jiwa seni dari Slamet yang bercita-cita menjadi produsen kerajinan yang berorientasi seni sejak muda ini juga diikuti oleh anak pertamanya, Kurnia Anjani, 21, usai menyelesaikan sekolah di SMA Persit Kartika Banyubiru, Kabupaten Semarang mencoba membuat kreasi seni berbahan dasar kain flanel, ia membuat produk gantungan kunci dan gantungan HP, tempat HP dan Dompet koin berbagai model, seperti kuda laut, Penguin, Dadu, Kodok, Bekicot dan kupu. Dibantu tiga orang saudaranya, ia memasarkan produknya ini ke sekolah TK di sekitar Ambarawa.
"Kebetulan tante juga guru TK dan adik masih ada yang sekolah TK, jadi saat mengantar, saya juga bisa memasarkan," ungkap gadis berkulit kuning langsat ini.
Slamet tidak membatasi kreasi anak-anaknya, menurutnya, jika anaknya memang memiliki jiwa seni, dikarena darah seni memang mengalir hingga keturunannya.
Slamet berharap, Pemerintah Kabupaten Semarang untuk lebih idealis dengan mempertahankan dan mematok produk unggulan Kabupaten Semarang.
"Selama ini pameran yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Semarang, tidak murni industri dai UKM, justru yang lebih dominan adalah pedagang yang memasarkan produk luar daerah, lha kapan kita akan bangga untuk memiliki produk asli Kabupaten Semarang?," ujar Slamet yang memiliki slogan hidup "suatu pekerjaan jangan setengah-setegah, harus total dan maksimal' ini juga berharap, Kabupaten Semarang memiliki sentra produksi unggulan.
Slamet juga berharap, ingin menambah karyawannya, namun karena kendala modal, niat tersebut belum terlaksana, dan saat ini ia masih konsentrasi untuk merampungkan pengiriman order Othok-othok ke Manado dan Klaten.
Dalam menyelesaikan pesanan maupun mengejar target, Slamet tidak sendirian, ia dibantu oleh delapan orang karyawan, yakni Kris Sugengrianto, 25, Agus Sunandar, 41, Dwi Santosa, 24, Heru Susanto, 25, Eko Prasetyo, 25, Febrianto, 25 dan Widodo Santosa, 43. Dan, jika anak-anaknya libur sekolah, lima anaknya sering membantu dalam menyelesaikan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus ini. Dari semua karyawannya, mayoritas merupakan tetangganya yang sebelumnya menjadi korban PHK saat krisis moneter melanda republik ini. Sedangkan Widodo Santosa, adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung (UNISSULA) Semarang yang juga adik ipar Slamet. Widodo sendiri sebelumnya bekerja di bidang Developer, di Pedurungan Semarang.
"Karena gaji habis hanya untuk transport jarak yang jauh, saya memutuskan keluar dan membantu kakak saya, dan gaji saya disini justru sangat mencukupi, karena selain dekat, saya tidak perlu ongkos banyak, disini saya justru bisa seneng, dan tambah kreatif," ujar sarjana hukum ini. (ems)

Catatan : tulisan ini juga dimuat di NATIONAL GEOGRAPHIC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar